iklan space 728x90px

Teungku Cik Di Tiro, Pahlawan Teralot Perang Aceh

Jendela Informasi - Badannya gemuk. Usianya telah 44 tahun, mata rabun. Toh Saman bertekat mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Rakyat yang menyangsikan kemampuannya tak digubris. Ejekan orang tak menghalangi kemauannya. Tekatnya kuat dan bulat, pergi berangkat bergabung dengan gerilya yang telah ada. Bahkan untuk perjalanannya dia rela menggadaikan sawah. Semua halangan tak diacuhkan. Permintaannya hanya satu, keberangkatannya agar tetap jadi rahasia.

Saman tak kenal putus asa. Dengan bantuan Teungku Mahmud, seorang kerabat Sultan Aceh, Haji Saman berhasil menemui Panglima Polim. Panglima Polim berjanji dia akan membantu perjuangan Saman. Bahkan akan memerintahkan para ulebalang agar mau membantu perjuangannya. Sekurang-kurangnya tidak menghalangi rencana Saman.


Tindakan Saman tidak hanya itu. Sebelum benar-benar menghadapi Belanda secara langsung, dia mengumpulkan bantuan sebanyak-banyaknya. Dia pun menemui para orang kaya, tokoh-tokoh terpandang untuk meminta bantuan keuangan. Dia menghubungi dan mengumpulkan pejuang-pejuang yang ada dan tersebar di beberapa tempat. Dengang kekuatan ini dia kemudian membentuk sebuah angkatan perang yang diberi nama Angkatan Perang Sabil. Diumumkan bahwa dia memang akan melancarkan perang sabil melawan kaum kafir, Belanda. Tekatnya telah bulat, mengusir Belanda dari tanah Aceh.

Anak guru agama di Sigli ini nama kecilnya Muhammad Saman. Dia lahir di desa Tiro, Pidie. Tak salah kalau kemudian setelah dikenal sebagai pejuang Aceh yang ulet, rakyat memanggilnya dengan nama Cik di Tiro. Saman sejak kecil biasa bergaul dengan para santri. Pamannya, Teuku Cik Dayah Cut, seorang ulama besar di Aceh.

Pelajaran agama mula-mula diterima dari ayahnya. Pelajaran menulis Arab dari ibunya. Kemudian dia berguru agama di pesantren pamannya. Belum cukup dengan ilmu yang didapat di rumah, dia pergi belajar pada beberapa guru. Terakhir dia belajar pada Teuku Cik di Lamrak. Oleh pamannya dia diharapkan dapat menggantikan kedudukannya, guru dan penerus tradisi ulama di Tiro.

Saman kemudian mengajar di pesantren pamannya. Ketika dia ingin naik haji, dia mengunjungi Lamrak untuk berpamitan pada gurunya. Disinilah dia melihat perubahan yang menyolok di bekas sekolahnya. Para santri tak hanya belajar saja di siang hari. Malam hari mereka ini menjadi gerilyawan, bergerilya menyerang pos-pos Belanda.

Saman tergerak hatinya. Ia pun menyertai adik-adik seperguruannya bergerilya melawan Belanda. Untuk sementara waktu dia melupakan keinginannya naik haji. Masa-masa itu perang Aceh memang sedang mengalamai masa suram. Belanda berhasil menguasai hampir sebagian Aceh Besar. Kesultanan Aceh jatuh ke tangan Belanda. Sultan yang menyingkir ini meninggal terkena kolera dalam pengungsiannya. Pejuang Aceh yang terkenal gigih dan pantang menyerah. Panglima Polim menghentikan kegiatannya karena kecewa dan putus asa.

Perlawanan makin surut. Keadaan itulah yang dilihat Saman ketika di Lamrak. Serangan gerilyawan Aceh tidak membawa banyak hasil. Tapi justru membawa penderitaan bagi rakyat. Bila suatu malam pos Belanda diserang, maka bisa dipastikan, esok harinya Belanda akan membakar kampung-kampung yang ada di sekitarnya.

Saman prihatin. Dia mulai memikirkan cara mengatasi masalah itu. Sayang dari Tiro pesan bertubi-tubi datang agar Saman segera pulang. Persiapan berangkat ke Mekah telah selesai. Saman pun berangkat ke Mekah. Kesempatan menunaikan ibadah haji itu sekalian dipergunakan untuk bertukar pikiran dengan para ulama terkemuka dan menambah pengetahuannya. Dalam setiap membicarakan tak lupa dia menyinggung masalah perang Aceh. Dari buku dan majalah pun dia menimba pengetahuan tentang perkembangan dan perjuangan dunia islam.

Pulang dari Mekah perhatian Saman tidak seluruhnya tertumpah pada tugas mengajar di pesantren. Ia lebih tertarik pada usaha perlawanan terhadap Belanda. Uasaha mengusir Belanda dari Aceh. Ia ingin membangkitkan lagi semangat juang rakyat Aceh. Kebetulan suatu hari datang utusan dari Gunung Biram, markas perjuangan rakyat Aceh, yang meminta seorang ulama dari Tiro memimpin para gerilyawan Aceh. Pamannya terlalu tua. Maka kesempatan berangkat ke Gunung Biram pun diberikan pada Saman.

Bantuan pun mengalir seperti yang diharapkan Haji Muhammad Saman. Rakyat mulai bangkit lagi semangatnya mengusir penjajah Belanda. Pejuang-pejuang Aceh, di bawah pimpinan Saman mendirikan benteng-benteng pertahanan di sekitar Gunung Biram. Senjata di kumpulkan dari seluruh penjuru Aceh.

Dalam rangka menggugah semangat pasukannya, Saman mengundang Syekh Pante Kulu. Syekh Kulu ini di Aceh terkenal sebagai seorang ulama yang pandai membaca syair karangannya sendiri yang berjudul 'Hikayat Perang Sabil'. Isinya, tentu saja, anjuran agar rakyat berperang melawan kaum kafir. Juga menceritakan bahwa orang yang meninggal dalam perang suci itu akan masuk surga. Pengaruh syair ini ternyata cukup ampuh dan mampu menggerakkan semangat rakyat.

Dalam suasana penuh semangat itu, Saman berhasil merebut benteng Belanda di Indrapuri. Belanda yang tak menyangka serangan rakyat Aceh terkejut. Kemenangan itu sendiri menambah semangat juang anak buah Saman. Satu persatu mereka berhasil merebut benteng Belanda, benteng Samahani dan kemudian benteng Aneuk Galong. Keadaan ini berarti Belanda telah dipukul mundur sampai ke tengah Aceh Besar.

Saman merencanakan Belanda harus keluar dari seluruh Aceh tahun 1883, tiga tahun dia mengangkat senjata. Rencana ini memang meleset, tapi sebagian besar Aceh telah berhasil dikuasainya.

Karena kemajuan perang sabil ini maka Belanda membentuk konsentrasi atau batas yang kuat untuk menahan serangan rakyat. Kekuatan angkatan perang sabil menjadi sangat kuat dan kenyataan ini yang tadinya tak diperhitungkan Belanda.

Haji Muhammad Saman yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Teungku Cik di Tiro nyata-nyata merupakan musuh besar Belanda. Berbagai cara ditempuh Belanda untuk menjebaknya. Cik di Tiro pantang menyerah. Juga ketika Belanda menghasut Sultan Aceh dengan mengatakan bahwa kekuasaan Sultan atas rakyat Aceh telah hilang. Di Tirolah yang sekarang menguasai rakyat.

Sultan termakan hasutan itu sehingga perlu mengeluarkan maklumat bahwa dia masih seorang sultan yang berkuasa penuh atas Aceh. Untuk menenangkan gejolak dan keragu-raguan rakyatnya, Saman terpaksa membalas maklumat sultan dengan membuat pengumuman bahwa dia tidak bermaksud menduduki singasana kesultanan, dia hanya berjuang untuk mempertahankan agama Islam di Aceh dan mengusir 'kafe ulanda', si Belanda kafir.

Pahlawan Aceh ini hanya meminta syarat sederhana: dia mau berdamai asal semua orang Belanda masuk Islam. Persyaratan ini dimanfaatakan Belanda. Beberapa orang Belanda dikirim ke markas Teungku Cik di Tiro menyatakan bersedia masuk Islam. Tapi maksud sebenarnya untuk memata-matai kekuatan Angkatan Perang Sabil. Haji Saman marah besar mengetahui siasat licik Belanda itu. Dalam kemarahannya dia berucap: "Saya mau membunuh semua orang Belanda yang ada di negeri ini." Perlawanan Angkatan Perang di bawah Teungku Cik di Tiro pun makin gencar. Benteng Belanda satu demi satu jatuh ke tangan rakyat Aceh. Bahkan pasukan Saman berhasil menguasai benteng Lambaro yang berjarak 8 km dari Banda Aceh, markas Belanda. Belanda pun menyadari untuk mematahkan perlawanan rakyat Aceh bukan hanya dengan senjata. Sultan pun kemudian didekati supaya mempengaruhi Cik di Tiro. Tapi panglima Angkatan Perang Sabil itu tetap bertahan. Damai berarti kalah.

Dia tetap tegar, tak tunduk oleh siapa pun. Untuk menundukkan orang terkuat di Aceh ini Belanda menggunakan cara licik. Menghasut seorang yang berambisi menjadi kepala Sagi XXII Mukim, orang itu tak lain anak kepala Sagi sendiri. Anaknya yang mengikuti sultan mendapat janji Belanda, akan dijadikan pengganti ayahnya, kalau berhasil membunuh Teungku Cik di Tiro.

Penghianatan pun terjadi. Dia, pahlawan Aceh meninggal bukan oleh senjata, bukan kalah perang. Dia tetap tak terkalahkan. Panglima Angkatan Perang Sabil, Teungku Cik di Tiro meninggal karena diracun. Perjuangan dan jasa-jasanya tercatat dalam sejarah. Untuk menghargai pengorbanan dan kepahlawanannya Teungku Cik di Tiro dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Maman Malmsteen
Maman Malmsteen Aktif menulis sejak tahun 1986 di media massa. Menjadi announcer di Radio Fantasy 93,1 FM sejak tahun 1999. Menjadi Blogger sejak tahun 2010. Sekarang aktif sebagai Content Writer untuk beberapa Blog/Website.

Posting Komentar untuk "Teungku Cik Di Tiro, Pahlawan Teralot Perang Aceh"

Follow Berita/Artikel Jendela Informasi di Google News