iklan space 728x90px

Pulang, Cerpen Masterpiece Karya Toha Mohtar Bagian 2


Empat bulan matanya bertambah dalam, wajah bertambah kering. Tidak seperti tukang getek, Tamin tidak menemukan tujuan dari kerja yang memeras tenaganya setiap hari. Makin lama ia makin yakin, bahwa seluruh hidupnya termasuk di dalam sawah. Separo dari jiwanya tinggal di desa, di sepanjang pematang dan di sepanjang sungai. Mimpinya cuma terisi oleh hijaunya lereng Gunung Wilis dan puncak Gunung Kelud yang merah keemasan ketika matahari merayap di pagi hari.

Tidak. Ia tak akan melupakan harinya yang telah lalu. Pandang mata ibunya yang sejuk itu mengganggunya di mana-mana. Senyum adiknya melintas saja di depan hati, dan ia bertambah ingat betapa ayahnya yang telah tua itu dapat memiliki kembali harapan hidup semenjak ia berada di rumah kembali. Alangkah indahnya hidup ketika itu, dan mengetahui dengan kebanggaan bahwa seorang bernama Isah dengan matanya yang bening akan menambah kekayaannya. Semua itu termasuk dalam hari-harinya yang telah lalu, lantaran ia tak bakal pulang kembali. Meski dalam mimpinya sekalipun ada rasa takut mengenangkan kepulangan semacam itu, rasa takut yang ia tak pernah dapat mengerti lantaran di dalamnya ada rindu yang membakar hati. 
***

Pagi-pagi benar ketika ia tengah duduk di pojok gudang ia melihat seorang yang telah tua berhenti di hadapannya. Ia kenal orang itu, tetapi tidak menyangka bahwa dalam pengembaraannya yang begini jauh, ia akan dapat bertemu dengan salah seorang dari desanya. Orang itu hampir setinggi dan sebesar badannya sendiri, rambutnya telah banyak yang putih, kulitnya telah banyak yang keriputan, tetapi pandang matanya masih bening, ia masih dapat berdiri tegak di hadapannya. Tidak ada tawa panjang yang dia dengar pada kebiasaan pertemuan mendadak semacam itu, melainkan mata orang itu terbuka lebar, dan hanya bibirnya saja bergerak, tetapi itu pun tampak ragu-ragu.
“Engkau, Tamin?” katanya.
Tamin berdiri pelan, mengulurkan kedua belah tangannya dan mengangguk.
"Ya. Saya Tamin, Pak Banji."
Kini salah seorang dari mereka datang. Mengapa orang-orang ini tak hendak membiarkannya, juga dalam persembunyiannya yang sejauh ini masih juga dikejar-kejar mereka? Seluruh desa sudah mengetahui tentang kisah khayal itu tentu.
"Empat bulan engkau pergi, Tamin. Betapa banyak engkau telah berubah. Aku hampir tak bisa mengenali engkau lagi."
Pak Banji mendekat dan menepuk-nepuk punggungnya berkali-kali. dan berkata lagi, "Aku tak mengira dapat bertemu dengan engkau di sini."
Oh, itu satu kebetulan jadinya dan tidak seperti sangkanya, orang tua itu tidak marah kepadanya. Bahkan dari suaranya ia mengerti, betapa sayang. Ia berdiri di sana seperti menemukan anak sendiri yang telah hilang. Lalu terbit keberaniannya untuk bertanya.
"Kabar apa yang Bapak bawa tentang rumah saya?"
Pak Banji tidak segera menyahut, dan Tamin menambah pertanyaannya.
"Empat bulan. Rasanya telah bertahun-tahun saya tidak mendengar tentang Bapak, Mak, dan Sumi. Seperti pengembaraan saya selama tujuh tahun dahulu lebih pendek terasa."
Namun, ketika Tamin berhenti berkata, Pak Banji masih saja tidak menyahut, ia bertambah gelisah. Apakah gerangan yang tersembunyi dalam hati orang tua di hadapannya ini? Dan dengan cemas ia berkata lagi, "Apakah itu, Pak Banji? Katakan! Aku sedia untuk mendengarkannya, apa pula bentuknya.'"
"Aku takut menyampaikan kabar ini, Tamin," katanya disela dengan usapan mesra tangannya. Ayahmu telah tiada, Nak!"
Kabar itu terucapkan jua akhirnya. Ia pernah membayangkan datangnya peristiwa semacam itu, tetapi tidaklah secepat ini. Empat bulan, alangkah banyaknya yang telah terjadi. Ia tidak menyahut, tak ada kata untuk itu. Lalu orang tua itu jua yang menyambungnya.
"Jangan mencoba menghidupkan penyesalan diri, Tamin. Itu sudah harus terjadi dahulu, lama sebelumnya. Kepulanganmu cuma berarti penundaan waktu. Janji memang telah sampai. Engkau masih punya ibu, Sumi, dan sawah. Ibumu kuat, dan Sumi menangis sepanjang malam merindukan engkau!"
"Ia pasti menghabiskan waktunya pada musim panen yang lalu," kata Tamin.
"Itu tidak benar. Ia telah sakit waktu itu," lalu menyusul kesepian dan Tamin bertambah teringat akan adiknya yang menangis sepanjang malam sejak kepergiannya.
"Pulanglah, Tamin! Kukira cuma itu yang paling baik untukmu dan seisi rumah."
"Bagaimana saya dapat pulang? Jika mereka marah kepada saya?" kata Tamin, dan matanya yang dalam itu memandang lurus ke depan.
"Apa yang engkau maksudkan, Tamin?" kata Pak Banji terkejut. "Tak seorang jua yang marah kepadamu."
"Mereka, orang-orang seluruh desa," kata Tamin.
"Bagaimana engkau punya pikiran semacam itu? Engkau tak tahu, ketika datang musim memotong padi dan ayahmu telah sakit maka kami seluruh desa telah menolong memotong padimu. Itu adalah kerja gotong royong, tanpa memungut padimu segantang jua sebagai upah. Engkau tahu mengapa? Lantaran seluruh desa cinta padamu, Tamin. Mereka menganggap engkau sebagai lambang, betapa semangat yang engkau curahkan untuk menyelesaikan sawahmu pada musim ini. Tak seorang pun mampu mengerjakan sawah selebar punyamu seorang diri seperti engkau. Kami kagum dan bangga melihat engkau. Dan engkau mengerti, betapa sepinya seluruh desa sejak engkau tak ada. Mereka seluruhnya mengharapkan engkau kembali, mereka telah rindu akan suaramu. Betapa sejuk hati di waktu malam jika udara desa tergetar oleh suara tembangmu. Pulanglah, Tamin!"
Tamin tidak menjawab. Ia diam dan matanya masih jauh mengawasi hadapannya.
"Engkau berjanji hendak pulang, Tamin? Mereka semua telah sedia menerima engkau."
"Benarkah itu, Pak Banji?" kata Tamin setengah tak percaya.
"Apa yang ada dalam hatimu, Tamin? Bagaimana kami bisa marah kepadamu, bagaimana engkau bisa berpikir demikian?"
Lalu tak ada yang segera berkata lagi, keduanya berhadapan dengan pandang seperti hendak saling menembusi hati.
"Ya, saya pulang. Saya hendak pulang," kata Tamin akhirnya, dan dalam hatinya ia melihat bayangan adiknya dengan jelas sekali. Mereka takkan marah kepadanya. Dan malam-malamnya hendak diisi oleh nyanyian seperti dahulu.
"Dan Pak Banji datang sejauh ini?"
"Aku hendak menemui Pak Gubernur malam ini di rumahnya untuk menyampaikan salam seluruh desa, dan menanyakan janjinya hendak memberikan bantuan kepada kita jika damai datang. Engkau tahu, ketika zaman gerilya lalu, ketika beliau masih berkeliaran di lereng-lereng Gunung Wilis dan sering mengunjungi desa kami, beliau menyatakan janji itu lantaran desa kami dianggap sebagai desa yang paling banyak memberi pengorbanan."
"Dan janji itu hendak ditepati?"
"Tentu, Tamin. Di dekat sawahmu itu hendak didirikan dam yang akan mengatur pengairan sawah seluruh desa dengan baik." Dan pertama kali dalam pertemuan pagi itu, Pak Banji tertawa sambil menepuk-nepuk punggung Tamin. "Kami hendak menunjukkan, bukan hanya di zaman gerilya, tapi juga di zaman damai ini kami hendak berjuang untuk sawah kami!"

Matahari telah jauh meninggalkan pertengahan langit, panasnya tidak begitu terik lagi dan makin lama bayangan makin memanjang jua. Untuk pertama kali sejak ia meninggalkan desanya empat bulan yang lalu, Tamin berjalan menuruni sungai, memandangi sawahnya dari jauh dengan pengharapan baru. Ia pulang, dan tak hendak pergi lagi. Sepanjang tepi sungai ia memandangi lereng Gunung Wilis yang bertambah indah jua tampaknya dan angin terasa seperti dapat melahirkan kesegaran yang tidak pernah ia rasai selama ini. Ia melewati sawah Pak Banji, menaiki jalan kecil di tengah sawah dan berjalan dengan langkah yang panjang. Ia hendak 'menemui' ayahnya dahulu sebelum menemui ibu dan adiknya... .***

Maman Malmsteen
Maman Malmsteen Aktif menulis sejak tahun 1986 di media massa. Menjadi announcer di Radio Fantasy 93,1 FM sejak tahun 1999. Menjadi Blogger sejak tahun 2010. Sekarang aktif sebagai Content Writer untuk beberapa Blog/Website.

Posting Komentar untuk "Pulang, Cerpen Masterpiece Karya Toha Mohtar Bagian 2"

Follow Berita/Artikel Jendela Informasi di Google News