iklan space 728x90px

Perburuan, Pemikiran Merdeka Buronan Tentara Jepang

Jendela Informasi - Suara korek api yang dinyalakan memecah kesunyian. Lewat cahaya dari api yang sebentar wajah Hardo (Adipati Dolken) terlihat jelas. Di dalam gua nan gulita, Hardo sedang berbicara sendiri sambil sesekali tertawa kecil. Tidak, Hando tidak gila. Dia hanya menjadikan batang-batang korek api itu sebagai lawan bicaranya mengutarakan isi hati. 

Hardo merupakan tentara Peta (Tentara Sukarela Pembela Tanah Air) bentukan Jepang. Dia menempati markas Peta di Blora. Pada Februari 1945, Hardo mendengar, Soepriyadi, pemimpin Peta di Blitar melakukan pemberontakan. Hal itu menyulut semangat Hardo untuk melakukan hal serupa.

Bagi Hardo, sudah saatnya mereka melawan Jepang yang telah menjanjikan kemerdekaan. Hardo ingin Indonesia segera merdeka dan lepas dari tangan penjajah.

Pada 14 Februari 1945 malam, pemberontakan pecah. Akan tetapi, munculnya pengkhianat membuat aksi itu kocar-kacir. Tentara Jepang berhasil membekuk dan membunuh sebagian pemberontak. Di tengah pertempuran yang tak seimbang, Hardo berhasil kabur ke dalam hutan. Dia meninggalkan keluarga dan tunangannya, Ningsih (Ayushita Nugraha).

Di dalam hutan, Hardo mencoba bertahan hidup. Dia ditinggal rekan-rekannya yang selamat dan memilih menjadi gelandangan. Hardo bertahan di dalam gua dan kejaran tentara Jepang. Ayah Hardo (Otig Pakis) yang seorang wedana harus kehilangan jabatan dan hartanya. Kesedihan ayah Hardo bertambah karena istrinya meninggal dunia dan dia tidak menemukan Hardo.

Suatu ketika Hardo keluar dari gua. Dia berjalan menuju Blora. Dalam perjalanan, dia bertemu ayah Ningsih (Egi Fedly). Kendati diminta pulang, Hardo tak menggubrisnya. Dia berjanji akan pulang dan menemui Ningsih jika Indonesia sudah merdeka.

Pelarian Hardo juga membawa dia bertemu ayahnya tanpa sengaja di ladang jagung. Namun, penampilan Hardo yang berubah membuat ayahnya tak mengenali putra semata wayangnya itu. Mereka bercakap-cakap, dan memendam kerinduan di dalam hati masing-masing.

Kabar Hardo ada di Blora sampai ke telinga tentara Jepang. Pada malam sebelum proklamasi kemerdekaan, Hardo masih berupaya sembunyi. Tentara Jepang mulai mengancam menangkap Ningsih, ayah Ningsih, dan ayah Hardo jika Hardo tak menyerahkan diri.

Hardo tak mengira, banyak pengkhianatan yang terjadi. Namun, janji Hardo untuk tak menyerah dia tepati. Pengkhianatan demi pengkhianatan pun ibarat utang yang harus dibayar. Hardo tahu, kemerdekaan adalah sesuatu yang mahal dan patut diperjuangkan.

Statis
Mulai tayang Kamis 15 Agustus 2019, "Perburuan" merupakan adaptasi dari novel karya Pramoedya Ananta Toer. Sama seperti "Bumi Manusia", film "Perburuan" juga diproduksi Falcon Pictures dan ditayangkan berdekatan dengan ulang tahun ke-74 Republik Indonesia. Kisah "Perburuan" dipercayakan kepada sutradara Richard Oh. Selain sebagai sutradara, Richard juga menulis naskah "Perburuan" bersama Husein M Atmodjo.

Dalam durasi sekitar 90 menit, "Perburuan" berjalan dengan alur yang nyaris statis. Di tengah film, cerita bahkan berjalan datar. Untung saja, karakter Hardo cukup baik dibawakan oleh Adipati Dolken. Selain Adipati, Otig Pakis dan Egi Fedly juga memberi warna di film "Perburuan".

Di film ini ada satu adegan yang berkesan, yaitu saat Hardo dan ayahnya berbicara di ladang jagung. Dengan cahaya yang minim, obrolan ayah dan anak berjalan intim dan penuh emosional. Padahal dikisahkan mereka tak saling mengenal.

Untuk menyajikan kesan autentik dari novelnya, Richard Oh dan Husein M Atmodjo membuat skenario dengan bahasa sastrawi seperti di novel. Hal ini terasa saat Hardo sedang berdialog. Begitu juga dengan logat bahasa Jawa Timur yang membumbui dialog para pemeran.

Novel Perburuan ditulis Pramoedya Ananta Toer saat ditahan di Bukit Duri pada 1949 oleh Belanda. Dalam satu minggu, novel itu selesai ditulis. Suatu hari, naskah novel itu berhasil diselundupkan ke luar sel tahanan. Pada 1950, Balai Pusataka merilis novel Perburuan.

Cerita Perburuan yang ditampilkan Pramoedya Ananta Toer merupakan roman dengan bumbu tragedi. Di satu sisi, penonton film ini akan turut merasakan ketakutan Hardo. Sementara itu, di sisi lain, penonton bisa turut merasakan semangat Hardo yang ingin Indonesia bisa merdeka. [Windy Eka Pramudya / Maman Soleman / PRM / 18082019]

Maman Malmsteen
Maman Malmsteen Aktif menulis sejak tahun 1986 di media massa. Menjadi announcer di Radio Fantasy 93,1 FM sejak tahun 1999. Menjadi Blogger sejak tahun 2010. Sekarang aktif sebagai Content Writer untuk beberapa Blog/Website.
Follow Berita/Artikel Jendela Informasi di Google News