iklan space 728x90px

Guru, Tipikal Sosok Sederhana yang Bijak, Betulkah?

Apakah yang kupunya, anak-anakku
selain buku-buku dan sedikit ilmu
sumber pengabdian kepadamu.

Kalau di hari Minggu engkau datang ke rumahku
aku takut, anak-anakku
kursi-kursi tua yang di sana
dan meja tulis sederhana
dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya
semua padamu akan bercerita tentang hidupku di rumah tangga.

Ah, tentang ini tak pernah aku bercerita
depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja
— horison yang selalu biru bagiku —
karena kutahu, anak-anakku
engkau terlalu muda
engkau terlalu bersih dari dosa
untuk mengenal ini semua.
(Hartojo Andangdjaja)

Puisi Hartojo Andangdjaja yang berjudul "Dari Seorang Guru kepada Murid-muridnya" secara deskriptif melantunkan balada penderitaan dan kesederhanaan seorang guru sekira tahun 1955-an (Walujo, 1987). Kondisi seperti ini tampaknya belum jauh beringsut pada korps guru masa kini sehingga Iwan Fals - salah seorang peraih Asia's Greatest Living Heroes bersama tokoh politik peraih nobel Aung San Suu Kyi, versi Majalah Time - pun masih mendeskripsikan sosok guru sebagai Umar Bakri dengan tipikal "sepeda butut"-nya. Hanya sebatas inikah gambaran sosok guru? Tidak adakah sisi lain yang dapat dibanggakan dan justru menjadi kekuatan sang guru?


Sejatinya banyak sisi yang dapat diteladani dari sosok guru. Seperti juga tersirat dalam puisi itu, guru tetap sebagai sosok manusia yang berjiwa besar, sosok manusia bijak. Meski dirinya menderita", derita itu tak akan pernah dibawanya ke dalam kelas; justru hal itu sebagai energi pendorong guna memajukan anak didiknya. Ah, tentang ini tak pernah aku bercerita/depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja/ — horizon yang selalu biru bagiku —. Apakah ini bentuk hipokrit seorang guru? Tentu bukan, karena guru sepenuhnya menyadari bahwa ia berhadapan dengan generasi muda yang harus lebih baik dan maju darinya dan "penderitaan" dirinya sama sekali bukan kesalahan mereka, anak didiknya: karena kutahu, anak-anakku/ engkau terlalu muda engkau terlalu bersih dari dosa/untuk mengenal ini semua.
Itulah gambaran pengabdian sang guru sejati yang tak pernah pudar sepanjang zaman. Meski badai materialisme melanda bangsa kita dewasa ini, guru tetap tegar dalam barisan kekuatan moral (moral force), barisan yang tetap diandalkan guna membangun karakter bangsa (nation and character building), dan penjaga serta pengayom budaya bangsa. Namun, di tengah kesadaran itu, selayaknya lahir pulalah kesadaran dari pihak penentu kebijakan (decisionmaker) untuk senantiasa memedulikan nasib dan kesejahteraan guru.
Guru dan pengabdiannya ibarat lilin yang meleleh demi menerangi dunia yang gelap. Guru dan pengabdiannya ibarat kuda beban yang siap dicaci maki manakala pesan majikannya tidak sampai. Guru dan pengabdiannya ibarat pahlawan tak dikenal. Kesadaran inilah yang menjadikan guru tetap bertahan dan terus bertahan. Walaupun dalam perkembangan sejarah Tanah Air, April. 2000, pernah tercatat puluhan ribu guru melakukan aksi menggugat (baca: demonstrasi) di depan gedung wakil rakyat (DPR/MPR) guna menuntut perbaikan nasib mereka, tetapi sejatinya itu "bukan tabiat" guru Indonesia yang sesungguhnya. Dari relung yang paling dalam - dalam kondisi apa pun - guru pasti terikat dengan komitmen terhadap kemajuan anak didiknya dan nilai-nilai sejati kemanusiaan.


Memang, guru selayaknya menyadari posisinya sebagai benteng pertahanan kemanusiaan yang sublim. Risiko apa pun yang dihadapi akan menjadi semacam kerikil yang tidak harus menjadikannya jatuh. Dengan jiwa besar, kerja keras, dan pengabdian yang tulus guru akan tetap menjadi kandil di malam gelap; menjadi matahari yang setia hadir guna menerangi dunia. Dalam tataran inilah, sosok guru di muka bumi ini akan tetap eksis dan diperlukan meski pada abad teknologi informasi secanggih apa pun.

Distorsi Kemanusiaan
Di tengah tantangan zaman yang kian sarat dengan tindakan yang mengarah kepada distorsi kemanusiaan, guru harus tampil sebagai pembela nilai-nilai kemanusiaan yang sejati. Ketika mentalitas anak didik mulai digerogoti pergaulan bebas, narkoba, dan perilaku menyimpang lainnya, guru tidak mungkin berpangku tangan. Guru harus menjadi penyelamat.
Beban yang harus dipikul pundak guru memang berat, tetapi guru harus memikulnya seraya akan menjadi ringan tatkala tetap terpatri dalam sanubari guru jiwa pengabdian yang tulus, kecintaan terhadap generasi anak bangsa, dan rasa tanggung jawab kepada bangsanya. Tantangan guru adalah tantangan menghadapi zaman yang terus berubah. Dalam hal ini, guru seyogianya tidak menjadi sosok yang reaktif, tetapi sebagai sosok yang proaktif. Seperti dijelaskan oleh Stephen R. Covey dalam bukunya "The 7 Habits of Highly Eftective People" (1993) bahwa sosok yang reaktif lebih terpaku pada adanya stimulus-respons. Orang yang reaktif sering dipengaruhi oleh lingkungan fisik di sekitarnya. Jika kondisi bagus, ia akan mereaksi secara bagus, tetapi kalau kondisi tidak bagus, ia akan mereaksi dengan tidak bagus. Orang yang reaktif juga dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Tatkala orang memperlakukannya dengan baik, ia akan merasa tersanjung jika orang tidak memujinya ia menjadi defensif atau protektif. Sebaliknya, orang yang proaktif, ia akan mengendalikan keadaan.

Selain itu, orang yang reaktif digerakkan oleh perasaan, keadaan, kondisi, dan lingkungannya, sedangkan orang yang proaktif digerakkan oleh nilai, yakni nilai-nilai yang sudah dipikirkan secara cermat, diseleksi, dan dihayati. Walaupun orang proaktif dipengaruhi stimulus luar, responsnya tetap didasarkan pada pilihan nilai tertentu.

Orang yang reaktif cenderung menyalahkan keadaan atau pihak lain, sedangkan orang proaktif bertanggung jawab atas keputusan dan tindakannya. Oleh karena itu, salah satu indikator kebahasaan orang yang reaktif yaitu, 'Tidak ada yang dapat saya lakukan." Sementara itu, indikator kebahasaan orang yang proaktif atas kondisi yang sama yaitu "Mari kita lihat alternatif yang kita miliki."

Di tengah kondisi zaman yang berubah serbacepat yang mengakibatkan terjadinya guncangan terhadap tatanan nilai, maka sikap proaktif guru sangat diperlukan. Ia harus menjadi pihak yang dapat menghadirkan sejumlah pilihan solusi atas sejumlah masalah yang dihadapi. Ketika anak didik loyo dalam belajar, guru tampil menjadi dinamo penggerak hasrat belajar. Ketika anak didik teracuni narkoba, guru selayaknya menjadi penawar dengan perilaku, sikap, dan tindakan yang arif. Ketika anak didik membutuhkan figur yang "ideal" sebagai identifikasi diri, sosok guru hadir sebagai personifikasi nilai-nilai ideal. Itulah tipe ideal sosok guru yang dulu mendapat penghormatan sejajar dengan ratu lan wong atuo karo (raja dan kedua orang tua).
Adakah pada era kejayaan materialisme dewasa ini guru masih berpeluang mendapat penghormatan seperti itu? Jawabannya, tentu bergantung kepada dedikasi guru itu sendiri, juga komitmen kita selaku bangsa dalam memandang sosok guru yang konon selayaknya patut digugu dan ditiru. Kita dewasa ini — pun dapat menyaksikan bagaimana Jepang yang sudah tergolong negara industri maju, karena komitmennya terhadap pendidikan. Mereka mampu memosisikan guru dalam "makom" yang terhormat di antara profesi-profesi lainnya.

Ekstensi Guru
Pada era informasi yang serbacanggih sekarang - yang informasi begitu mudah diakses melalui world wide web (www) atau smartphone - muncul keraguan atas eksistensi profesi guru. Akankah guru tergantikan oleh mesin dan kecanggihan teknologi informasi? Jika kita memaknai guru dalam ranah sebagai pentransfer ilmu pengetahuan semata, maka jawabannya guru akan dapat tergantikan. Bahkan, tertinggal jauh oleh media informasi semisal internet, yang dapat menyajikan informasi lebih luas dan relatif komplet. Akan tetapi, jika kita memaknai guru sebagai sosok personifikasi nilai-nilai, teladan dalam sikap dan perbuatan, maka ia tidak akan dapat dan tidak akan pernah tergantikan oleh teknologi apa pun.

Guru, memang profesi yang berhadapan dengan manusia yang memiliki wilayah rohaniah yang tidak dapat disederhanakan ibarat kerja mesin. Anak didik adalah anak manusia yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang sangat sublim. Oleh karena itu, sejatinya manusia guru juga harus memiliki nilai-nilai kemanusiaan ini yang dapat dicontoh dan dikonkretkan melalui sikap dan perilakunya. Dengan demikian, proses pendidikan yang sejati jelas tidak hanya memindahkan ilmu dari sosok manusia guru kepada manusia lain (anak didik). Namun, lebih dari itu, proses pendidikan merupakan jalinan interaksi nilai-nilai kemanusiaan yang sejati dari manusia dewasa (guru) yang telah memiliki banyak pengalaman yang terinternalkan dalam sikap dan perbuatan kepada manusia yang sedang mencari pengalaman (anak didik). Seraya perlu disadari anak didik, guru bukanlah segala sumber ilmu dan satu-satunya sumber kebenaran. Terdapat banyak pilihan sumber ilmu guna menemukan kebenaran.

Dalam konteks kompleksitas manusia dan kemanusiaannya, termasuk dalam proses pendidikan, tepatlah apa yang dinyatakan Alvin Toffler (dalam Pulliam etal, 1995) bahwa; Societies... are not machine and they are not computers. They can not be reduced so simply into hardware and software, base and superstructure. Masyarakat (manusia) tetaplah manusia yang tidak dapat direduksi seperti mesin atau komputer atas perangkat keras dan perangkat lunak. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk yang menyatu dengan kemanusiaannya.

Jika begitu, eksistensi guru akan tetap "langgeng", selanggeng nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Namun, keyakinan ini tidak mesti membuat pasukan guru terlena karena profesinya akan ada sepanjang masa, tanpa menyadari tantangan perubahan yang begitu cepat. Jika sikap ini yang diambil seraya guru berada dalam barisan konservatif, maka guru akan tergilas oleh zamannya sehingga sosok guru hanya menjadi seonggok daging tanpa makna. Eksistensi guru yang diharapkan tentu sosok yang proaktif, dinamis, dan mengikuti perkembangan zaman, seraya mengusung nilai-nilai kemanusiaan sejati yang akan selalu dihadapkan dengan sejuta tantangan. Siapkah pasukan "Umar Bakri"? Tidak ada pilihan lain, para guru harus siap sehingga syair lagu tentang guru akan berganti menjadi, Guru/ pegawai negeri/ sosok terpuji/ pengusung nilai kemanusiaan sejati/ untuk kejayaan negeri. Semoga! Wallahu a'lam bisshawab.
Maman Malmsteen
Maman Malmsteen Aktif menulis sejak tahun 1986 di media massa. Menjadi announcer di Radio Fantasy 93,1 FM sejak tahun 1999. Menjadi Blogger sejak tahun 2010. Sekarang aktif sebagai Content Writer untuk beberapa Blog/Website.

Posting Komentar untuk "Guru, Tipikal Sosok Sederhana yang Bijak, Betulkah?"

Follow Berita/Artikel Jendela Informasi di Google News