iklan space 728x90px

Cara Memelihara Nilai Ramadan dan Idulfitri


Jendela Informasi - Maha Agung Allah Yang Maha Menatap, Yang Mendetakkan setiap jantung kita, dan dengan izin-Nya pula setiap napas terhela. Dialah Zat Yang Menggenggam langit dan bumi beserta isinya, Penguasa mutlak alam semesta Yang Mahagagah dan Mahaperkasa. Salawat dan salam semoga tetap tercurah dan terlimpah kepada junjungan kita yang mulia Rasulullah Muhammad saw. Begitu pun kepada keluarga, keturunan, para sahabatnya, serta seluruh umatnya hingga akhir zaman.

Alhamdulillah, hari demi hari di bulan Ramadan ini bisa kita lalui dengan baik. Tanpa kita sadari, kita kini telah sampai di hari-hari terakhir Ramadan. Mudah-mudahan, perjalanan ibadah di bulan suci Allah sempumakan dan kita diberi karunia untuk membawa bekal sebanyak-banyaknya dari jamuan Allah di bulan mulia ini.

Jika kita periksa Ramadan demi Ramadan yang telah kita lalui, mestinya kita bertanya, "Apa yang paling berharga yang bisa kita peroleh dari seluruh Ramadan yang telah lalu?" Pertanyaan ini penting, sebab dari sana kita bisa memperoleh gambaran yang jelas tentang prestasi ibadah saum kita selama ini. Jangan sampai ibadah saum yang selama ini kita lakukan ternyata tidak berbekas sama sekali. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., "Berapa banyak orang bersaum, namun tidak memperoleh keutamaan apa pun, selain lapar dan haus belaka." Ramadan tidak mengubah dirinya menjadi insan Muslim yang lebih bertakwa.

Insya Allah, setelah Ramadan kita akhiri, tentu saja bukan berarti bearakhir pula suasana ketakwaan kita kepada Allah SWT., tapi justru kita harus mampu membuktikan keberhasilan ibadah Ramadan itu dengan peningkatan ketakwaan kepada Allah SWT. Sesudah Ramadan, kita akan bertemu dengan bulan Syawal yang artinya peningkatan. Di sinilah letak pentingnya memelihara nilai-nilai ibadah Ramadan, terutama dalam menjaga ketakwaan kita kepada Allah SWT.

Berbicara tentang takwa, seorang sahabat pernah ditanya tentang makna takwa. Dengan indah Beliau balik bertanya, "Apa yang akan kamu lakukan jika berjalan di jalan yang di sekitarnya banyak duri-duri?" Sahabat yang ditanya itu menjawab, "Tentu saja saya akan berhati-hati." Kemudian sahabat tadi melanjutkan keterangannya, "Ya, itulah takwa!" Di sini takwa dimaknai sebagai upaya kehati-hatian terjebak dalam dosa seperti hati-hatinya seseorang agar dia tidak terjatuh pada duri-duri.

Jika takwa seperti itu, tentu untuk mengukur hasil-hasil puasa selama bulan Ramadan kita bisa melihat sejauh mana meningkatnya ketakutan kita kepada Allah sesudah momen Ramadan berakhir berganti bulan-bulan biasa. Jika sesudah Ramadan nanti kita lebih baik, itu berarti program puasa selama sebulan itu ada dampaknya. Namun, jika sebelum dan sesudahnya sama saja, maka puasa kita tidak punya bobot yang berarti.

Selama beribadah Ramadan, kita memang cenderung berhati-hati dalam melakukan sesuatu karena kita tidak ingin ibadah Ramadan kita menjadi sia-sia akibat kekeliruan yang kita lakukan. Secara harfiah, Ramadan juga berarti mengasah, yakni mengasah ketajaman hati agar dengan mudah bisa membelah atau membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Ketajaman hati itulah yang akan membuat seseorang menjadi sangat berhati-hati dalam bersikap dan bertingkah laku. Sikap seperti ini merupakan sikap yang sangat penting sehingga dalam hidup-nya, seorang Muslim tidak asal melakukan sesuatu, apalagi sekadar mendapat nikmat secara duniawi. Kehati-hatian dalam hidup ini menjadi amat penting mengingat apa pun yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.

Apabila kita melaksanakan ibadah Ramadan dengan sebaik-baiknya serta penuh keikhlasan, insya Allah kita akan memperoleh jaminan ampunan dari dosa-dosa yang kita lakukan selama ini. Oleh karena itu, semestinya setelah melewati ibadah Ramadan ini kita tidak gampang lagi melakukan perbuatan yang bisa bernilai dosa. Dengan kata lain, jangan sampai dosa yang kita tinggalkan pada bulan Ramadan hanya sekadar ditahan-tahan untuk selanjutnya dilakukan lagi sesudah Ramadan berakhir dengan kualitas dan kuantitas yang lebih besar. Naudzubillahi.

Di bulan mulia ini, penjagaan Allah ini sungguh terasa dampaknya. Lihat saja! Selama Ramadan, kita cenderung suka dan semangat untuk beramal saleh. Jika di bulan-bulan biasa kita selalu saja ketemu alasan-alasan yang "cerdas" untuk meninggalkan amal saleh, di bulan ini kita serasa terus haus untuk melaukan amal-amal itu. Kita sangat yakin bahwa ini adalah bulan melipatgandakan catatan amal. Jika kemudian selama bulan ini masih ditemukan kemaksiatan, kemunkaran atau kejahatan, itu karena hawa nafsu kita sendiri.

Dalam kaitan dosa, sebagai seorang Muslim jangan sampai kita termasuk orang yang bangga dengan dosa, apalagi kalau mati dalam keadaan bangga terhadap dosa yang dilakukan. Bila ini yang terjadi, sangat besar risiko yang akan kita hadapi di hadapan Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya dalam Alquran surat Al-a'raaf ayat 40, "Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka bisa masuk ke surga, ibarat tidak bisa masuknya unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan".

Inti dari ibadah Ramadan adalah melatih diri agar kita dapat mengendalikan hawa nafsu. Kemampuan kita dalam mengendalikan diri dari hal-hal yang pokok seperti makan dan minum, semestinya membuat kita mampu mengendalikan diri dari kebutuhan-kebutuhan sekunder, apalagi dari hal-hal yang kurang pokok dan tidak perlu sama sekali. Kemampuan kita mengendalikan diri dari hal-hal yang tidak benar menurut Allah dan Rasul-Nya merupakan sesuatu yang amat mendesak. Bila tidak, kehidupan ini akan berlangsung seperti tanpa aturan, tak ada lagi halal dan haram, tak ada lagi haq dan bathil, bahkan tak ada lagi pantas dan tidak pantas atau sopan dan tidak sopan. Yang jelas, selama manusia menginginkan sesuatu, hal itu akan dilakukannya meskipun tidak benar, tidak sepantasnya dan sebagainya.

Dengan demikian, harus kita sadari bahwa Ramadan adalah bulan pendidikan dan latihan. Keberhasilan ibadah Ramadan justru tidak hanya terletak pada amaliah Ramadan yang kita kerjakan dengan baik. Akan tetapi, yang juga sangat penting adalah bagaimana menunjukkan adanya peningkatan takwa yang dimulai dari bulan Syawal hingga Ramadan tahun yang akan datang.

Di sisi lain, ketika kita berpuasa Ramadan, kejujuran mewarnai kehidupan kita sehingga kita tidak berani makan dan minum meskipun tidak ada orang yang mengetahuinya. Hal ini karena kita yakin Allah SWT., yang memerintahkan kita berpuasa selalu mengawasi diri kita dan kita tidak mau membohongi Allah SWT. dan tidak mau membohongi diri sendiri karena hal itu memang tidak mungkin. Inilan kejujuran yang sesungguhnya. Oleh karena itu, setelah berpuasa sebulan Ramadan semestinya kita mampu menjadi orang-orang yang selalu berlaku jujur, baik jujur dalam perkataan, jujur dalam berinteraksi dengan orang, jujur dalam berjanji, dan segala bentuk kejujuran lainnya. 

Di samping itu ibadah Ramadan yang membuat kita dapat merasakan lapar dan haus, telah memberikan pelajaran kepada kita untuk memiliki solidaritas sosial kepada mereka yang menderita dan mengalami berbagai macam kesulitan, itu pun sudah kita tunjukkan dengan zakat yang kita tunaikan. Oleh karena itu, semangat berjamaah kita sesudah Ramadan ini semestinya menjadi sangat baik, apalagi kita menyadari bahwa kita tidak mungkin bisa hidup sendirian. Sehebat apa pun kekuatan dan potensi diri yang kita miliki, kita tetap sangat rnemerlukan pihak lain. Itu pula sebabnya, Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang berjuang secara berjamaah yang saling kuat dan menguatkan, yang memiliki semangat sukses bersama, sebagaimana firman Allah dalam surat Ash-shaff ayat 4, "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang dijalan-Nya dalam satu barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh."

Ramadan disebut juga sebagai sayyidus syuhur atau pemimpin semua bulan. Tentu saja bukan tanpa alasan jika Ramadan diberi kehormatan lebih mulia dari bulan-bulan lain. Secara sederhana, kila bisa berkata bahwa tentu ada apa-apanya sehingga Ramadan disebut sebagai penghulu segala bulan.

Jika Ramadan sekadar sama saja seperti bulan-bulan lain, mana mungkin kemudian disebut sebagai sayyidus syuhur. Jika kita menyimak keterangan-keterangan dari Rasulullah saw., dan menghayati perjalanan Ramadan demi Ramadan yang telah lalu, kita akan menjumpai keistimewaan-keistimewaan tertentu di bulan Ramadan ini.

Selama bulan Ramadan ini, pintu-pintu keberkahan Allah dibuka lebar-lebar, karenanya ada yang menyebut Ramadan sebagai syahrul mubarak, bulan yang penuh keberkahan. Rezeki dimudahkan, urusan-urusan dilancarkan, kegembiraan-kegembiraan senantiasa diiringkan. Itu semua benar-benar kita rasakan.

Dalam soal rezeki, pesona Ramadan sangat berbeda. Rata-rata seiring kewajiban ibadah puasa, masyarakat meningkat standar belanjanya. Di bulan Puasa yang harusnya berdampak penghematan, kebutuhan belanja justru meningkat. Akan tetapi, semua itu bisa terpenuhi dengan baik. Hampir tidak kita temui orang yang ikhlas menjalankan ibadah puasa di bulan ini sepanjang waktu berurai air mata karena tidak kebagian rezeki untuk sahur maupun berbuka. Tidak, semua orang bisa menikmati semua itu dengan memadai.

Kalaupun pesona Ramadan berkurang indahnya, itu bukan karena keberkahan bulannya, namun lebih sebagai bentuk kedurhakaan manusia-manusianya yang sudah melampaui batas. Di bulan ini ada juga kita temukan kejahatan-kejahatan, perjudian, praktik amoral, permainan petasan, bencana, dsb. Semua itu bukan karena Ramadannya, namun lebih sebagai dosa-dosa tangan manusia yang mengotori suasana khusyuk Ramadan.

Ibadah saum di bulan Ramadan adalah aktivitas ibadah fisik dan ruhiyah yang tidak ringan. Mungkin saja sebagai pengimbang dari beban ibadah yang tidak ringan itu, Allah tebarkan keberkahan-keberkahan di seluruh penjuru bulan ini. Itulah yang kita syukuri dan senantiasa rindukan. Andai seluruh bulan seperti Ramadan, cukup bagi kita untuk membangun kehidupan bermasyarakat yang tegak dan harmonis.

Berbicara tentang silaturahmi, kita tidak hanya membatasi sekadar saling bersalaman, menyentuhkan tangan atau permohonan maaf. Akan tetapi, kita harus berbicara yang lebih hakiki lagi, yakni tentang suatu kekuatan mental dan kemampuan yang tinggi dari hati manusia. Hal ini sesuai dengan asal kata dari "silaturahmi" itu sendiri, yaitu shilat atau washi yang berarti "menyambungkan" atau "menghimpun", dan arrahiim yang berarti kasih sayang. 

Pengertian "menyambungkan" adalah suatu proses aktif dari sesuatu yang asalnya tidak tersambung. Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda, "Yang disebut bersilaturahmi itu bukanlah seseorang yang membalas kunjungan atau pemberian, melainkan bersilaturahmi itu adalah menyambungkan apa yang  terputus." (H.R. Bukhari)

Oleh karena itu, adalah teramat penting bagi kita, tidak hanya merekayasa gerak-gerik tubuh di  dalam bersilaturahmi tersebut, namun harus benar-benar bersungguh-sungguh menata hati agar kita mempunyai kekuatan untuk bisa berbuat lebih baik dan lebih bermutu dari apa yang dilakukan orang terhadap kita.

Silaturahmi yang kita laksanakan benar-benar bukan karena mengharapkan imbalan dari makhluk. Bukan berharap pujian dan penghargaan, juga bukan karena mendambakan agar mereka pun menyambungkan tali silaturahmi sebagaimana yang telah kita lakukan. Melainkan semua ini kita lakukan semata-mata agar kita disayangi oleh Allah Azza wa Jalla, Zat Yang Mahaagung, Mahahebat, Mahasuci, dan Mahamulia. Sahabat, semoga di hari-hari terkahir bulan Ramadan ini kita semakin giat menyambungkan tali silaturahmi. Hanya dengan jalinan silaturahmi yang eratlah, umat Islam akan menjadi kuat.

Terakhir, sudah saatnya kita budayakan hidup di bulan Ramadan menjadi budaya standar kita. Budaya bangun malam, misalnya yang sering kita gunakan untuk sahur, jangan pemah kita lepaskan untuk salat malam. Saum Syawal 6 hari, sebagai kelanjutan penyempurna Ramadan teruskan dengan saum Senin-Kamis.

Budaya tilawah Quran di bulan Ramadan, kita biasakan membaca Quran supaya jangan pernah terputus. Memang, suasananya telah berbeda. Akan tetapi, itu seperti di charge, charger kita. sekuat-kuatnya dengan amal-amalan yang membuat kokoh iman kita. Budaya rajin ke masjid sewaktu salat tarawih sebulan Ramadan, jadikan menjadi salat tepat waktu berjamaah.

Begitu pun tiada hari tanpa sedekah. Pokoknya sekuat-kuatnya standar Ramadan itu kita terapkan di luar bulan suci tersebut. Semoga kita keluar dari kepompong Ramadan ini sebagai mana layaknya ulat yang baru berubah menjadi kupu-kupu yang cantik dan indah. Semoga kita telah bermetamorfosa dari lumuran dosa menjadi pribadi yang fitri (suci) kembali.

Semoga Allah menyingkapkan tabir di hati kita sehingga kegelapan di hati ini terganti dengan kebeningan kalbu yang bercahaya. Hari-hari kita yang tersisa menjadi hari-hari yang semakin akrab dengan kehangatan kasih-Nya sehingga kita dapat merasakan indahnya hidup dekat dengan Allah. Selamat menyongsong fajar satu Syawal, semoga kita benar-benar dapat meraih derajat takwa. Taqobalallaohu minna wa minkum, shiyaamana wa shiyaamakum, Wallahu a'lam.***

Maman Malmsteen
Maman Malmsteen Aktif menulis sejak tahun 1986 di media massa. Menjadi announcer di Radio Fantasy 93,1 FM sejak tahun 1999. Menjadi Blogger sejak tahun 2010. Sekarang aktif sebagai Content Writer untuk beberapa Blog/Website.

Posting Komentar untuk "Cara Memelihara Nilai Ramadan dan Idulfitri"

Follow Berita/Artikel Jendela Informasi di Google News