iklan space 728x90px

Cerpen Remaja : Cinta Bukan Puzzle

Cinta itu seperti puzzle, kita perlu mencari kepingan-kepingan untuk kemudian dipasangkan agar mencapai kesempurnaan. Tapi kadang orang membiarkan puzzle itu berserakan karena ia menganggap cinta itu bukan suatu hal yang berharga. Jadi cinta bukanlah sebuah puzzle.

"Ma, ijinkan aku pake jilbab...." Kata seorang anak pada mamanya.
"Mama bilang nggak boleh!” jawab si mama dengan wajah galak.
“Ih,mamah egois! Usia anak mama kan udah sweet seventeen. Tujuh belas tahun. Masak pake jilbab gak boleh?"
"Pokoknya nggak boleh!"
"Mama jahat! Mama otoriter!" Kata si anak emosi berat.
"Jangan ngotot dong sama Mama. Mama bilang nggak boleh ya nggak boleh!"
"Kenapa sih mama nggak ngebolehin?" si anak mulai menangis.
Airmatanya mengalir lembut dari kedua pipinya.
"Karena kamu laki-laki, Joko... Kamu harusnya pakai baju koko. Kalau kamu perempuan, mama pasti ngijinin kamu pakai jilbab..." ucap si mama.
"Haaa...haa.... lucukan cerita gue?" kata Deta sambil terbahak-bahak sendiri pada Davina, sahabatnya. Tapi Davina tetep aja dalam posisinya yang aduhai : Manyun.
"Ayolah, Davina. Senyum. Lo jadi orang musti bersyukur. Inget ketika lagi sakit gigi. Betapa mahalnya senyum..." jelas Deta lagi.
Tapi Davina masih terdiam seribu bahasa.
"Oke, oke. Gue tahu cerita gue tadi udah biasa banget buat lo. Udah terlalu sering lo denger. Coba sekarang lo tebak. Apa bahasa cina-nya lantai yang basah?" dengan penuh semangat Deta berusaha menghibur sahabatnya.
Davina hanya mampu menggeleng. "Gue nggak tahu..." jawab Davina lirih.
"Oke, oke. Gue kasih tahu ya? Bahasa cina-nya lantai basah is.... Lie Chin! Huaaa...haaa..." Deta tertawa terbahak-bahak sendiri lagi.
Tapi lagi-lagi Davina tetep nggak bisa tersenyum.
Ada apa dengan Davina? Kenapa Davina menjadi sosok yang aneh akhir-akhir ini?
Ternyata karena Davina sedang jatuh cinta.
"Lha, jatuh cinta kok malah melow? Harusnya jatuh cinta itu bikin kita senyum-senyum sendiri dong!" kata Deta begitu tahu duduk permasalahannya.
"Nggak bisa Deta. Kasus gue ini beda..." kata Davina lirih.
"Beda bagaimana, Vin? Di mana-mana ni. Jatuh cinta itu sama aja. Bikin hati kita ber-flower-flower, bikin kita senyum sendiri tiap hari. Lo beda banget..."
"Karena gue jatuh cinta dengan orang yang salah..."
"Hah! Maksud lo?!" Deta kaget. "Di mana-mana cinta itu nggak salah!"
"Tapi hati kecil gue, cinta yang gue jalani ini salah..." kata Davina lagi.
Davina menunduk.
Matanya menerawang jauh....
Ya, pertemuan Davina dengan seorang cowok bernama Edmund ternyata membuahkan kenangan yang terlalu indah dalam hatinya.
Davina bertemu Edmund yang ternyata kakak kelas SMP-nya. Wah, perasaan dulu Edmund orangnya nggak sekeren itu!
Tapi setelah tiga tahun nggak ketemu, kini Edmund udah jadi cowok yang amat sangat keren di mata Davina.
"Nah, sekarang apa masalahnya, Davina? Pokoknya, cinta itu nggak pernah salah!"
"Deta, lo tahu kan kalau gue udah sekian lama jalan sama Dafa? Nah, kalau sekarang gue tiba-tiba jatuh cinta sama cowok lain, gue salah kan?! Gue ngelaba, kan!" ucap Davina dengan rasa bersalah.
Deta menatap Davina dengan tatapan mata sambil berfikir, betapa jujurnya sahabatnya ini.
"Davina, lo aneh deh. Hari gini, nggak ada yang perlu lo pikirin. Ikutin kata hati lo aja. Kalau lo cinta sama siapa tu? Midun, lo putusin aja Dafa. Lo jadian sama Midun. Gampang kan?" kata Deta santai.
Davina bengong?
Midun?
"Apa Deta lo bilang. Siapa namanya?"
"Midun, kan?" ucap Deta polos.
Davina menggeleng prihatin. Prihatin karena sobat kentelnya yang masih muda tapi mulai terganggu pendengarannya.
"Bukan Midun, Deta..." jelas Davina sabar.
"Eh, siapa tadi?"
"Coba lo tebak. Kalo lo berhasil nyebutin bener nama cowok itu, lo gue traktir makan apa aja..." Davina dengan penuh ketulusan mencoba memperbaiki daya ingat sahabatnya. Walau harus dengan sogokan.
"Tunggu..." Deta mikir keras.
"Udah inget belum?"
Deta menggeleng.
"Ayo, lo pasti bisa. Ayoooo..." Davina kembali ngasih support.
"Gue lupa. Asli..."
"Ayo, Detal Lo akan inget! Lo belum amnesia!"
"Gue inget!" Deta terlonjak bahagia.
"Apa coba?"
"Namanya Kimun! Iya kan?!" kata Deta penuh semangat.
Davina langsung lemes.
Sekali Deta tetap deta. Asaaallll....!!!!
"Deta, nama cowok yang sedang ada dalam pikiran gue saat ini bukan Midun atau Kimun. Tapi Edmund..."
Deta mengangguk ngeh.
"Gue bolot juga ya?"
"Insyaallah..." jawab Davina.

Back to Davina.
Ya, cinta memang ajaib dan penuh dilema.
Ujian selalu ada saja ketika kita sudah berniat menjaga komitmen kita dengan orang-orang yang kita kasihi, ada saja akan datang yang lebih indah dari yang kita miliki saat ini.
Tapi namanya hati.... Mohon maaf lahir dan bathin. Tidak bisa berbohong.
Waktu yang sudah sekian lama terbina, saat kita menjalin suatu hubungan dengan kekasih kita ternyata tidak bisa menjamin kekuatan dan keutuhan cinta.
Sebab kadang ketika bertemu dengan orang yang tepat, pertemuan yang begitu singkat mampu mengubah segalanya... mengisi setiap inci kekosongan jiwa kita dengan melodi yang amat indah hingga hidup kita jadi makin berarti...
Dan ini yang kini dirasakan Davina pada Dafa.
Bertahun-tahun Davina bersama Dafa, tapi Davina merasa tiada sesuatu yang luar biasa. Getaran-getaran tidak pernah sedahsyat ini mengisi relung hatinya.
Sementara itu, pertemuan dengan Edmund walau hanya satu jam saja terasa bertahun-tahun rasanya.
"Jadi lo sering ketemuan sama Kimun?” tanya Deta pada Davina beberapa hari kemudian ketika keduanya kembali bertemu.
Davina mengangguk.
"Dafa tahu kalo lo ketemuan sama Midun?"
Dafina kembali mengangguk.
Sebenarnya dia mau protes sama Deta yang masih rancu menyebut nama Edmund. Kadang Midun, kadang Kimun.
Tapi Davina berusaha sabar.
"Lhaaaa... trus lo bilang apa? Dafa nggak cemburu?"
Davina menggeleng.
"Antara gue sama Edmund nggak ada apa-apa, Davina. Kami hanya sebatas sahabat. Sahabat baik. Itu saja. Untuk apa Dafa cemburu?"
"Tapi lo cinta sama Kimun! Itu masalahnya... Dan Kimun cinta sama elo?"
Davina menarik nafas panjang. Pikirannya kembali menerawang jauh. Bukan GR bukan kegeeran. Tapi sikap Edmund luar biasa pada Davina. Dan ini yang tidak pernah ia dapatkan dari Dafa.
Just flashback hubungan Davina bersama Dafa, bagi Davina terasa hambar. Dafa bagi Davina sangat pasif. Masalah baik, Dafa sangat baik. Tapi dalam perjalanan waktu, ternyata sikap baik saja tidak pernah cukup dalam suatu hubungan percintaan. Perlu ada bumbu yang dapat membuat hubungan lebih berwarna.
Sebagai contoh, selama ini Dafa sama sekali tidak pernah mau tahu bagaimana hari-hari Davina.
"Det, sebagai cewek normal, gue butuh dong sesekali diperhatiin sama cowok gue. Misalnya dia tanya, udah makan atau belum. Capek atau enggak. Gue ada masalah apa di sekolahan..."
"Hah? Masak dia nggak pernah nanya?"
"Nggak pernah..."
"Kenapa bisa ya?"
"Mungkin dia ngerasa itu bukan hal penting. Tapi bagi gue : sangat penting..."
"Trus?"
"Semua itu justru gue dapetin dari Edmund. Ketika gue sedang bete, dia selalu SMS, tanya keadaan gue. Saat gue sedang melow dia tanya udah makan belum. Hal kecil memang. Tapi itu jadi sangat berarti bagi gue. Gue cewek biasa kan...?" jelas Davina.
Deta mulai paham.
"Contoh lagi. Dafa nggak pernah ngasih kejutan buat gue. Misalnya bikin candle light dinner kek. Beliin gue buku kesukaan gue kek. Asli gue bukan cewek matre. Tapi itu kadang hal sederhana yang suka diimpikan tiap cewek..."
"I see. I know u banget Davina. Lo nggak matre. Gue malah merasa lo terlalu nrimo...."
"Demi Allah gue nggak butuh macem-macem dari Dafa. Gue hanya pengen dia lebih aktif dan merhatiin gue..."
"Kenapa lo gak omongin Sama Dafa, Vin? Gampang, kan?"
"Udah cape gue, Det. Gue selalu katakan ketika kita review bersama hubungan kita. Dan jawaban Dafa, iya, iya. Walau nggak pernah terbukti perubahan yang dia lakukan..." jawab Davina.
"Waduh!"
"Hati gue gersang. Hampa. Gue butuh seseorang yang bisa mengerti gue..."
Deta mengangguk-angguk paham.
"So, kenapa lo nggak putusin Dafa? Gampang, kan?"
"Nggak semudah itu, Det. Gue nggak enak dengan banyak orang... Mami Dafa kan sobat deket mami gue. Kalau gue sampe putus, apa kata mereka..."
"Hari gini. Jadi lo berusaha bikin hepi orang lain sementara batin lo selalu menderita?"
Davina terdiam.
"Davina. Hidup ini sempit. Hidup ini singkat. Lo jangan korbanin waktu dan hidup lo untuk bersama dengan orang yang gak lo cintai. Hidup terlalu mahal untuk lo biarkan seperti ini..."
Davina terdiam,
"Lo musti milih, Davina! Lo musti milih!"
"Apa yang gue pilih, Deta?"
"Caleg terbaik!"
"Caleg terbaik? Kan pemilu legislatif udah lewat..."
"Elo sih, Deta! Aduh, gimana sih? Yang gue pilih, antara Dafa atau Edmund..."
"Oh gitu ya? Iya ya. Lo musti milih. Ah, hidup memang penuh pilihan..."
"Tapi aku nggak mungkin milih salah satu, Det...."
"Apa yang nggak mungkin! Lo harus milih!"
"Gue nggak mungkin milih Edmund karena..."
"Dia terlalu cakep?"
"Bukan...."
"Trus?"
"Karena... karena...Edmund udah punya cewek, Det..."
"Haaaa..."
"Itulah, Det...Tapi sungguh, gue nggak berniat nyakitin Dafa atau cewek dia. Rasa gue pada Edmund datang nggak gue undang...."
"Kayak jailangkung dong. Datang nggak diundang, pulang nggak dianter..Hi...hi..." Deta cekikikan sendiri.
"Gue dengan Edmund juga nggak pernah melakukan apapun selama ini. Paling kita SMS, saling support, kirim email, ke toko buku. Bagi gue itu udah luar biasa. Lo paham, kan?"
Deta mengangguk dalam kebingungan.

Cinta itu seperti puzzle, Kita perlu mencari Kepingan-Kepingan untuK Kemudian dipasangKan agar mencapai Kesempurnaan. Tapi Kadang orang membiarKan puzzle itu berseraKan Karena ia menganggap cinta itu buKan suatu hal yang berharga....(Davina)

Davina menulis SMS itu dan ia kirimkan pada Dafa. Dengan SMS singkat itu ia berharap Dafa akan paham apa yang ia rasakan. Ia berharap Dafa akan memperbaiki hubungan mereka untuk lebih indah lagi. Hingga Davina tak perlu mencari-cari pada sosok selain Dafa. Agar mereka bisa pertahankan apa yang sudah mereka bangun selama ini.
Tapi jawaban Dafa melalui pesan singkat yang ia terima di BlackBerry-nya justru membuat Davina menjadi kian yakin bahwa ia sendiri. Dafa tak pernah paham maksudnya.

Lho pengen beli puzzle? Bel aja di toko buku. Ada Kok ... (Dafa).

Dubrakkksss!!! Davina rasanya mau nangis membaca SMS dari Dafa barusan.
Jaka sembung banget!
Lagi-lagi, Dafa nggak paham dengan apa yang ia inginkan.
"Lagipula, andai lo pengen puzzle beneran, harusnya dia jawab : Oke Vin, gue beliin ya? Lo mau puzzle dengan setting apa? Gitu dong!" kata Deta berapi-api.
"Deta, ini bukan masalah jual beli puzzle. Tapi masalah paham atau tidak makna yang ada di SMS gue tadi..." kata Davina.
"Bener, bener..."
"Dan Dafa nggak pernah paham..." mata Davina berkaca-kaca. Merah.
"Dan lo tahu, Det? Apa jawaban Edmund ketika SMS ini gue kirim?"
Deta menggeleng.

Davina, Kamu bener. Cinta itu tidak bisa ada begitu saja. Tapi harus terus dibangun, disusun. Agar ia mencapai sebuah kesempurnaan. Walau jujur di dunia ini tidak ada yang sempurna. Tapi Alah memberi kesempatan pada setiap manusia untuk menyempurnakannya. Tapi bagi gue cinta bukan seperti puzzle. Cinta itu terlalu indah dan mahal untuk kita bongkar pasang.... salam : Edmund.

'So sweeeeeetttt...." Mata Deta langsung berkaca-kaca dan terenyuh saking takjubnya saat ia membaca jawaban SMS Edmund untuk Davina.
"Ya. Dia sangat cerdas, Deta..." jawab Davina sedih.

(Beberapa hari kemudian...)
Hari ini, Davina dengan semangat melangkahkan kakinya ke toko buku.
Mata Davina mencari seseorang. Dan tak lama kemudian di rak buku paling ppjok ia melihat sosok yang sangat ia kagumi selama ini : Edmund. Edmund nampak keren dengan polo shirt warna hijau dan jeans biru selututnya. Sangat keren dan rapi.
"Davina?"
"Edmund!"
Mata Davina berbinar-binar bahagia.
Keduanya duduk di counter donut yang ada di toko buku itu. Dan dengan penuh semangat Davina bercerita tentang banyak hal. Dan Edmund pun membalasnya dengan cerita-cerita sederhana. Cerita sederhana, namun cukup membuat hati Davina merasa bahagia dan berdebar-debar.
Inikah yang dinamakan cinta?
Tapi Davina bisa melihat yang berbeda saat ini. Wajah Edmund terlihat sangat pucat. Sesekali Edmund terbatuk kecil. Jelas sekali kalau Edmund sedang sakit. Davina baru sadar!
"Kamu sakit, Edmund?" tanya Davina.
Edmund tersenyum lembut, dan akhirnya mengangguk perlahan.
"Ya ampun! Kenapa kamu nggak bilang sama aku! Tau gitu kita nggak usah ketemu hari ini..."
Edmund menatap Davina dengan tatapan penuh kasih sayang.
"Aku tidak akan pernah menyia-nyiakan setiap detik andai aku ada kesempatan bisa bertemu dengan kamu, Davina..."
"Apa?!" Davina kaget.
Edmund kembali menatap Davina. Matanya terlihat sangat pucat.
Dengan gemetar Davina mencoba memegeng tangan Edmund. Panas. Dan demi Tuhan memegang tangan Edmund saja Davina sudah merasa sangat bahagia.
“Tangan kamu panas, Edmund! Kamu harus pulang dan istirahat!"
Edmund menggeleng.
"Nggak, Davina... Aku bahagia disini sama kamu..."
"Apa!!!" lagi-lagi Davina terhentak mendengar ucapan Edmund.
Sorot mata Edmund kelihatan merah.
Davina mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
Ia menunjukkan botol balsam pada Edmund.
"Balsam?" Edmund menatap heran.
"Ya. Kamu sakit. Aku boleh menggosok tengkuk kamu dengan ini?" tanya Davina pelan.
Terlihat ada dilema dalam diri Edmund.
"Nggak usah Davina..."
"Tapi kamu demam, Edmund... Aku gosok ya? Biar cepet better..."
Edmund tersenyum.
"Kamu nggak suka bau balsam ya?" tanya Davina.
Edmund mengangguk lucu.
Davina membalas senyuman Edmund. Ia bersiap memasukkan balsam ke dalam tasnya.
Namun tiba-tiba....
"Jangan..."
Edmund dengan cepat memegang pergelangan tangan Davina. Davina menatap Edmund dengan kaget. Baru kali ini sepanjang persahabatan mereka yang penuh cinta tak terucap Edmund memegang tangannya.
"Kalau kamu nggak keberatan, aku mau kamu gosok balsam di bagian tengkuk. Aku demam.." kata Edmund.
Davina dengan semangat berbinar-binar mengeluarkan balsam kembali.
Ia berdiri.
Tak lama kemudian ia menggosokkan balsam dengan lembut di tengkuk Edmund.
Davina dan Edmund nggak peduli saat orang-orang di toko buku menatap keduanya....
* * *

"Apa! Kamu mijit tengkuk Edmund pakai balsam di toko buku! Gila lo ye?! Emang lo mbok-mbok tukang pijit!" kata Deta kaget.
"Edmund yang minta..."
"Mana ada sih laki-laki yang suka pakai balsam. Balsam kan favorit para nenek sedunia!"
"Tapi dia mau, Det!"
"Itu karena dia menghormati elo aja!"
"Entahlah. Tapi gue bahagia bisa ada di dekat dia saat dia butuh seseorang kala sakit..."
"So sweet lageee......."
"Jantung gue berdetak nggak karuan saat gue pegang tengkuk dia... “
“Hah, gitu doang?!"
“Ya ialah. Mau apa lagi?"
“Nggak pake french kiss after that!"
"Masyaallah, Deta! Pikiran lo jorok banget! Istigfar!!!”
“Bukan masalah jorok! Tapi wajarkan hari gini gituan?" jawab Deta.
"Dan itu nggak berlaku dalam kamus hidup gue. Gue nggak akan mudah melakukan itu..."
"Karena di tempat terbuka? Lo malu?" .
"Bukan. Biar di tempat tertutup pun gue nggak semudah itu..."
"Dahsyat. Lo jadi cewek lempeng banget!"
"Trus gimana?"
"Lucu banget Det. Abis selesai gue gosok, Edmund kepanasan. Dia minta aku kipasin tengkuk dia. Trus dia semprot badan dia pake parfum karena bau balsam..."
"Hi...hi.... Lucu banget sih!"
"Asli lucu...."
"Gimana perasaan elo saat itu? Kayak Demi Moore saat bikin keramik dalam film Ghost?"
Davina mengangguk. Dalam hati ia berkata. Ya, memang ada kemiripan.
Sangat manis dan romantis. Bedanya kalau di film Ghost saat itu lagunya Unchained
Melody, sementara saat di toko buku kemaren, lagu yang diputar adalah lagunya Afgan - Bukan Cinta Biasa.

Kali ini kusadari
Aku telah jatuh cinta
Dari hatiku terdalam
Sungguh aku cinta padamu

Cintaku bukanlah cinta biasa
Jika kamu yang memiliki
Dan kamu yang temaniku
Seumur hidupku

Terimalah pengakuanku
Percayalah kepadaku
Semua ini kulakukan
Karena kamu memang untukku

Cintaku bukan cinta biasa
Jika kamu yang menemani
Dan kamu yang temaniku seumur hidupku
Terimalah pengakuanku

Dan Davina tak percaya ketika dua hari kemudian, sepulang sekolah Edmund kembali mengajaknya bertemu di toko buku kesayangan mereka.
"Betul kata kamu, Davina. Aku much better setelah kamu gosok dengan balsam..." kata Edmund dengan sorot mata penuh berterimakasih.
"Kamu ngejek ya?"
Edmund menggeleng.
"Aku tulus...Demi Tuhan..."
"Tulus?"
"Ya. Kamu tahu, Davina? Aku tidak pernah mendapat perlakuan seperti yang kamu lakukan selama ini sama aku..."
"Maksud kamu?" Davina kaget setengah mati.
"Hubunganku dengan Jihan selama ini sangat hambar. Jihan terlalu asyik dengan diri dia sendiri. Aku sakit, dia tidak pernah mau tahu. Apalagi menggosok balsam seperti yang kamu lakukan. Jujur, itu luar biasa bagiku. Aku selama ini paling anti dengan balsam. Tapi kini aku justru jatuh hati dengan balsam karena itu simbol perhatian yang selama ini aku dambakan...." Edmund menatap Davina lembut.
"Edmund?"
"Hubunganku dengan Jihan tidak pernah indah. Kami mampu bertahan sekian lama bukan
karena cinta. Tapi karena komitmen..."
"Maksud kamu?"
"Aku dengan Jihan jadian demi kebahagiaan orang tua kami yang udah ngejodohin sejak kecil. Tapi dalam perjalanan waktu, aku me rasa bahwa aku tertekan dengan hubungan yang kami jalani ini..." Edmund menarik nafas panjang.
"Kamu nggak bahagia sama dia?"
Edmund mengangguk.
"Dia tidak seperti yang aku harapkan. Aku lelah”.
“Trus apa yang akan kamu lakukan, Edmund? Kalian akan putus???!!!!!' Davina bertanya hati-hati.
Edmund terdiam.
Davina was-was menanti jawaban Edmund. Hingga tak lama kemudian Edmund menggeleng. "Aku masih mencoba bertahan. Aku mencoba menjaga komitment yang pernah ada..."
Hati Davina entah tiba-tiba terasa perih.
Demi komitmen?
Karena ternyata apa yang Edmund rasakan sama persis seperti yang ia alami bersama Dafa.
"Aku bilang, cinta itu bukan puzzle. Tapi ada sisi-sisi kesamaan yang bisa kita ambil. Bahwa kita selalu diberi kesempatan untuk menyempurnakan apa yang belum sempurna. Termasuk dalam hubungan yang sedang kita jalani dengan pasangan kita masing-masing..."
Davina memejamkan matanya...
"Kamu betul Edmund.... Kita harus mencoba menyempurnakan apa yang masing-masing pernah kita jalani..." akhirnya sepotong kalimat meluncur dari mulut Davina.
Tapi kamu harus janji, Davina. Andai kita gagal dengan hubungan yang sudah kita jalani dengan pasangan kita masing-masing dan Tuhan akan mempertemukan kita... kita berdua harus siap..." Edmund menatap Davina penuh kasih sayang.

"Edmund...."
"Davina, aku berjanji. Aku tidak akan mencintaimu seperti bunga, Karena bunga mati saat musim berganti. Tapi aku akan mencintaimu seperti sungai, Karena sungai mengalir selamanya..."
Davina menangis.
"Kamu paham maksudku, Davina?"
Davina tersedu.
Mata Davina kini tak mampu menahan airmatanya. Ia hanya mampu menatap Edmund yang tatapan mata sangat dalam.
Davina mengangguk....
Sebagai janji untuk Edmund.... Dalam hati ia berkata akan terus mengenang semua kisah indahnya bersama Edmund. Sambil menunggu kisah hidupnya selanjutnya yang ia tak pernah tahu karena hanya Tuhan yang Maha tahu...
Ya, Kini satu janji, satu harapan, satu sosok, dan satu kisah sudah mengisi lembaran hidupnya.... Edmund. [Dyah Kalsitorini]

.

Maman Malmsteen
Maman Malmsteen Aktif menulis sejak tahun 1986 di media massa. Menjadi announcer di Radio Fantasy 93,1 FM sejak tahun 1999. Menjadi Blogger sejak tahun 2010. Sekarang aktif sebagai Content Writer untuk beberapa Blog/Website.

Posting Komentar untuk "Cerpen Remaja : Cinta Bukan Puzzle"

Follow Berita/Artikel Jendela Informasi di Google News